Teropong DSI

Kepatuhan Syariah

Ilustrasi Dasbor Analisis Data Keuangan

Meneropong Kepatuhan Syariah

Sebuah perjalanan untuk memahami Perjanjian Wakalah Bil Ujrah di PT Dana Syariah Indonesia dengan lebih jernih.

Rangkuman Perjalanan Kita

Selamat datang! Laporan ini adalah sahabat Anda untuk menelusuri perjanjian "Wakalah Bil Ujrah" PT DSI. Kita akan melihat bersama bagaimana sebuah niat baik bisa memiliki celah yang perlu diperbaiki. Meski menggunakan akad syariah, kita menemukan ada praktik yang substansinya mirip pinjaman berbunga (riba) yang mungkin tidak disadari.

Temuan utamanya adalah skema "Imbal Hasil" tetap 18% p.a. yang dijanjikan. Ini, sahabat, adalah inti dari apa yang kita kenal sebagai riba an-nasi'ah. Penggunaan akad Wakalah di sini berpotensi menjadi hilah (helat hukum). Ada juga unsur gharar (ketidakpastian) signifikan terkait alokasi risiko, yang bisa merugikan kita sebagai pendana. Mari kita bedah bersama agar lebih paham.

Membedah Peran: Siapa Menjadi Apa?

Para Pelaku dalam Cerita Ini

Dalam skenario perjanjian ini, para pelaku diposisikan sebagai berikut:
Pemberi Dana: Sebagai Muwakkil (pemberi kuasa/amanah).
PT Dana Syariah Indonesia: Sebagai Wakil (penerima kuasa).
Penerima Pembiayaan: Pihak ketiga yang menerima dana.
Secara formal, struktur ini tampak sesuai dengan skema Wakalah.

Alur Cerita Transaksinya

Untuk menjalankan skema ini, ada dua akad utama yang digunakan:
1. Wakalah Bil Ujrah: Antara Pemberi Dana dan DSI. DSI bertindak sebagai agen untuk menyalurkan dana dan berhak atas upah (ujrah) sebesar 5% p.a.
2. Akad Lain (Implisit): Antara DSI (atas nama Pemberi Dana) dan Penerima Pembiayaan, yang semestinya akad syariah (misal: Murabahah).

Sebuah Potensi "Jalan Pintas" (Hilah)

Dari alur tadi, kita melihat ada potensi kuat bahwa akad Wakalah ini menjadi sebuah hilah. Rangkaian transaksi ini seolah dirancang untuk memberikan hasil akhir berupa keuntungan tetap bagi Pemberi Dana, yang secara substansi identik dengan bunga, meskipun "dibungkus" dengan akad-akad yang secara formal terlihat sah.

Cerita di Balik "Imbal Hasil"

Janji Manis Imbal Hasil Tetap: Titik Kritisnya

Inilah inti dari penelusuran kita. Janji "Imbal Hasil" sebesar 18.00% p.a. yang bersifat tetap, pasti, dan ditentukan di muka. Praktik ini, sahabat, sayangnya bertentangan langsung dengan semangat keadilan dan pembagian risiko dalam keuangan syariah. Inilah esensi dari riba an-nasi'ah.

Perbandingan Karakteristik: Imbal Hasil vs Riba vs Bagi Hasil

Karakteristik Imbal Hasil (DSI) Bunga (Riba) Bagi Hasil (Syariah)
Dasar Penentuan Persentase tetap dari modal (18% p.a.) Persentase tetap dari modal pokok Nisbah/rasio dari keuntungan riil
Sifat Hasil Dijanjikan "Pasti & Tetap" Dijamin dan pasti di awal Tidak pasti & fluktuatif
Penanggungan Risiko Implisit dijamin Penyelenggara Ditanggung peminjam Ditanggung pemilik modal

Kesimpulan: Karakteristik "Imbal Hasil" DSI secara substansial identik dengan Riba, dan sangat berbeda dari prinsip Bagi Hasil syariah yang adil.

Berbagi Risiko: Antara Janji & Realita (Gharar)

Ilustrasi timbangan yang merepresentasikan risiko

Paradoks yang Membingungkan

Di sinilah letak gharar (ketidakpastian) yang perlu kita waspadai. Kita dihadapkan pada dua pesan yang bertentangan:

  • Janji Pemasaran: Menggambarkan imbal hasil yang "pasti dan tetap", seolah ini adalah investasi yang aman tanpa risiko.
  • Klausul Akad & POJK: Menyatakan bahwa semua risiko gagal bayar, pada akhirnya, ditanggung oleh kita sebagai Pemberi Dana.

Amanah Seorang "Wakil"

Dalam akad Wakalah murni, posisi wakil (DSI) adalah sebagai pemegang amanah (yad amanah). Mereka tidak boleh menjamin modal atau keuntungan. Namun, janji imbal hasil tetap secara tidak langsung telah melakukannya.

Refleksi dari Sudut Pandang Syariah

Bagi Pemberi Dana

Status keuntungan ("imbal hasil") menjadi tidak halal karena mengandung unsur riba. Terdapat risiko tersembunyi (gharar).

Bagi Penyelenggara (DSI)

Perjanjian ini secara substansi adalah akad yang fasid (tidak sah). Penggunaan akad wakalah hanya formalitas (hilah).

Bagi Industri Fintech

Kasus ini menjadi pelajaran berharga dan mengikis kepercayaan publik pada label "syariah". Ini menyoroti perlunya pengawasan DPS yang lebih ketat.

Langkah Bijak ke Depan (Rekomendasi)

Untuk Regulator (OJK)

Mari kita dukung OJK untuk meningkatkan pengawasan, tidak hanya pada formalitas akad, tapi juga pada substansi alur transaksinya, demi mencegah praktik *hilah*.

Untuk Dewan Pengawas Syariah

Peran DPS sangat krusial. Perlu ada evaluasi proses kerja dan independensi DPS untuk memastikan kepatuhan syariah yang sejati, bukan sekadar stempel formalitas.

Untuk Kita (Investor)

Ini adalah pelajaran bagi kita. Mari lebih jeli dan kritis. Selalu pertanyakan skema imbal hasil tetap, karena di sanalah kemungkinan besar unsur riba bersembunyi.